Lembaran-lembaran doa berpijar
dalam terang bagai lentera
Penulisnya merunduk dalam cahaya remang diantara lilin
yang
berbaris tersusun rapih satu-satu
Dan cahayanya menari dalam remang dinding-dinding
jingga
yang bayangannya meloncat lincah
Kertas tipis putih yang ditulisi hati-hati dengan pena
nasib
dan hati penuh harap
Ditulisi hati-hati dengan sabar pada kertas rapuh
yang
berisi daftar mimpi
Panjang sekali kertas tersebut, sang penulis beranjak
bangun
dan mengulur doa-doa tersebut
Dia menjauh dan berjalan turun pada tangga-tangga
yang
membawa nasib tersebut sesuka hatinya
Naik, turun, sang penulis berputar
diantara lembaran doa-doa
itu sambil berbisik, amin, amin, amin
Disuatu doa harta berlimpah tanpa habis,
emas-emas
berjatuhan bak hujan, lembaran uang menggunung
dalam berbagai warna yang
tertimpa jingga lilin yang bayangannya menari-nari
Amin, amin, amin
Suatu kertas bersinar terang dan perang terhenti,
kedamaian
dunia, dan tiada kelaparan
sementara senjata-senjata dimusnahkan
Amin, amin, amin
Ini, itu, ini, itu. Lembar-lembar doa yang berpijar
sementara
penulisnya menari mengamini satu-persatu kertas
yang menyentuhnya
lembut, mengiringi putaran dan
berputarnya kaki-kaki dari satu langkah ke
langkah lainnya
Satu kertas saja.
Sang penulis berhenti menari.
Air mata jatuh.
Hati hancur.
Tangan
yang tergenggam erat
“Aku ingin dia mencintaiku juga...
aku ingin dia merasakan
yang kurasakan...
aku ingin bernafas beriringan dengannya...”
Tinta itu luntur membasahi keramik-keramik jingga.
Air hitam
menetes dan kertas tersebut rapuh debunya tertiup angin.
Sang penulis terdiam.
Sunyi.
Tak ada amin?
Lalu ia melangkah,
menari melalui lembar-demi lembar doa
sambil berbisik,
amin, amin, amin
Dan nun jauh disana,
hati runtuh satu persatu.
Air mata
jatuh.
Harapan yang rapuh dan tertiup angin.
Tak ada yang mengamini cinta.
Sementara sang penulis terus menari dan menari.
0 comments:
Post a Comment